By Suwadi Idris Amir:
Tidak dipungkiri bahwa Pilkada adalah suatu pristiwa politik, namun proses dan hasil Pilkada dapat pula dicapai melalui analisis mekanisme pasar dan pendekatan makro-mikro ekonomi. Mensukseskan Pilkada (KPUD) dan memenangkan Pilkada (kandidat Gubernur/Bupati/Walikota) membutuhkan analisis untung rugi dan kalkulasi ekonomi yang akurat yakni bagaimana mengurangi resiko-biaya sosio-ekonomi dan sosio-politik. Efisiensi penting dalam berbagai bidang baik dalam pelaksanaan Pilkada (KPU/Desk Pilkada) maupun cara memenangkan Pilkada (kandidat/ koalisi/non koalisi partai pendukung). Tim sukses kandidat Pilkada seharusnya berpikir strategik-efisien bagaimana mengurangi resiko dan meningkatkan keuntungan/manfaat (”to minimize risks and to maximizize profits”). Hal ini diperlukan agar Pilkada dapat dilaksanakan secara efisien bukan sekedar efektif dengan mengurangi beban (”economic burdens”) dibandingkan dengan manfaat politik (”political benefits”). Dua kerugian dan kemubaziran yang timbul pertama pelaksanaan Pilkada tidak dijalankan dengan efisien dan yang kedua biaya ekonomi dan ongkos politik dari kandidat Gubernur/Bupati/ Walikota akan semakin besar. Efisiensi  Pilkada baik secara institusional (beban anggaran KPUD/Desk Pilkada)  maupun personal (dana kampanye dan sosialisasi Kandidat) baru dapat  dicapai apabila proses dan hasil yang diterima di Pilkada (”political process and outputs”) menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dari suatu proses produksi ekonomi (”economic process and commercial products”). Oleh  karenanya yang dibutuhkan oleh kandidat adalah adanya tim sukses yang  mampu mensimultankan antara keuntungan socio-politik dengan biaya  ekonomi yang dikeluarkan. Namun demikian, pada akhirnya demi kemenangan  sebagai tujuan akhir kandidat sering  faktor  efisiensi/berdayaguna menjadi prioritas kedua yang penting  berhasilguna/efektif memenangkan Pilkada bahkan adakalanya dengan cara  apapun atau menghalalkan semua cara. 
 Ketokohan dan Strategi Marketing Politik
  Sebagai bahagian dari proses ”politico-economicizing” telah terjadi pergeseran pola manajemen politik  dari dominasi institutional (Pemerintah  dan Partai Politik) ke ”consumer oriented”  yakni kekuatan massa (”people power”) melalui partisipasi sosial.  Masyarakat  sebagai konsumen politik akan membeli produk politik yang dianggap  menguntungkan. Memilih kandidat sama dengan membeli barang. Oleh  karenanya, promosi, sosialisasi dan ”uji petik” kandidat yang akan  dipilih sama dengan barang yang akan dipakai. Di sini kualitas kandidat  menjadi faktor utama, dan pentingnya ketokohan dan panutan. Ketokohan yang dapat membaca maunya pemilih (”mind reading”),   beremphati dengan menunjukkan simpati kepada pemilih potensial dan  pendukung emosional. Ketokohan juga diwujudkan pada pola pikir kewajaran  dengan memperlakukan massa pendukung dan penentang kita secara  proporsional. dan berkemampuan membangun dialog interaktif dengan cara  lebih banyak mendengar apa mahunya konstituan. Apabila mampu membangun  suasana dialogis yang berkesinambungan, maka kandidat akan mampu  menangkap peluang “pasar pemilih potensial” yang di  hari “H” akan  menjadi pemilih efektif. Adalah wajar jika kandidat menggunakan berbagai  cara untuk membuka akses pada sumber daya politik berupa pusat  informasi (”information desk”)  bagi yang mempromosikan kandidat yang dijalankan oleh tim sukses.  Terbentuknya berbagai “center, club, front aksi,” yang dibangun dan  disponsori oleh kandidat merupakan upaya-upaya mencari cara dan format yang tepat sehingga  melalui R & D (”Research and Development”)  ini diharapkan dapat menghasilkan data akurat tentang pemetaan politik  diri dan lawan. Dalam konteks seperti ini faktor partai pendukung menjadi ”essential but not enough”  yakni penting tetapi tidak cukup menjamin, karena ketokohan kandidat  akan menentukan karena yang dijual bukan partai tetapi kandidat. Memang  Pilkada berindikasi mengiring proses rekrutmen pimpinan politik ke  kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy) bukan melalui perpanjangan partai yang dalam kamus politik dikenal ”kedaulatan partai” (partycracy). 
 Mengedepankan visi dan misi yang marketable,  merupakan koridor tuntutan yang  akan dicapai dalam upaya menarik hati pemilih sebagai kustomer. Untuk  itu diperlukan memfokuskan pengalokasi potensi sumber suara pendukung  politik dengan strategi membangun image kandidat. Berbagai potensi  kandidat dipasarkan dengan menggunakan “merek” yang mudah dikenal (”marketable branding”) yang melekat/inherent pada diri kandidat. Keunggulan kandidat menjadi produk yang mudah dijual (”saleable candidate”) melalui sarana promosi, memanfaatkan berbagai sarana (”political market places”).  Sebahagian kandidat ada yang melakukukan riset pasar untuk mencari  kantong-kantong pendukung tradisional/basis massa loyal dan pendukung  potensial/basis massa rasional.
 Menjual Kandidat sebagai Politik Kewirausahaan
  ”Political entrepreneurship” memang agak aneh di dengar mengingat konsep politik lebih ke ”cost centered” sedangkan entreperenur cenderung ke ”profit centered”. Koneksi politik dengan membangun ”political networking” melalui pendekatan analisis ekonomi sebagai basis ”political marketing”  sangat penting. Mendongkrak popularitas kandidat ke tataran atas (”political elites”)-suprastruktur politik dan bawah (”political grassroot”)-infrastruktur politik dalam sistem politik sangat diperlukan. ”Customer-driven politics” yakni menempatkan  konstituan adalah raja akan mudah untuk  mengidentifikasi platform  pemasaran kandidat dalam tataran politik massa, potensi suara yang  diplot yang dapat memberikan  kontribusi positif pada pemenangan  pemilih. Membangun daya saing politik diperlukan sekaligus sebagai  sarana (”market place”) memasarkan kapabilitas kepemimpinannya ke pemilih yang mereka bidik (target group) dengan berbagai desain politik sesuai dengan kondisi dan ekspektasi/harapan pemilih.  
 Pilkada sebagai suatu proses transaksi ”political trading” dalam jangka panjang dapat dikategorikan sebagai  “political investment”.  Agar tidak terjadi kolaborasi kohesif-negatif antara pemilih dengan  kandidat setelah kemenangan dicapai yang akan syarat dengan politik  balas budi (”rewarding politics”) dan berpotensi KKN, maka dibutuhkan adanya ”accountable politics:- yakni  ethika politik yang diinstitusionalisasikan dengan kekuatan hukum positif bersangsi (”law enforcement”).  Jika tidak terbangun moral politik yang  baik dan benar, maka sukses Pilkada hanya dalam pelaksanaan Pilkada (3  bulan) akan tetapi tidak menghasilkan pemimpin yang sukses membangun  paska Pilkada (5 tahun). Jadi Pilkada bukan ditujukan hanya mendukung  kondusifnya iklim politik jangka pendek dengan melihat Pilkada berjalan  dengan aman, ternyata dapat kita lihat amannya Pemilu dan Pemilihan  Presiden 2004 masih menyisakan kasus hukum di KPU dan berbagai hambatan  struktural lainnya. 
 Paska  Pilkada yang perlu dibangun adalah ”memagari” Gubernur/Bupati/ Walikota  terpilih dengan pagar hukum sehingga arah pembangunan sesuai dengan  koridor hukum positif  dan tujuan moral sosial. Kandidat  terpilih diharapkan mampu membangun hubungan dengan konstituan dalam  jangka panjang dengan jaringan berskala trans-lokal. Sangat memungkinkan  apabila sukses menjadi Bupati/Walikota atas dukungan masyarakat dapat  mempersiapkan diri untuk mengabdi di tugas-tugas lebih besar.  Seorang  Walikota/Bupati yang sukses (memimpin dengan baik, dan mengelola  administrasi dengan benar) maka akan mempermudah membangun political marketing untuk masuk ke bursa balon Gubernur bahkan menjadi Menteri.
 Antagonistik politik “Black Campaigns” 
 Kandidat perlu memahami kondisi sosial sekarang untuk tujuan pemetaan dukungan  dimasa mendatang. Analisis kondisi internal kandidat dan situasi  ekternal diperlukan melalui input data socio-politik yang mampu  memetakan basis massa secara politik (“politically demographic mapping”). Analisis pesaing kandidat dan analisis basis pendukung cukup berpengaruh karena memetakan lawan sebagai “political competitors” jangan dilihat dari sisi negative tetapi ambil substansi positif. Hal  ini diperlukan  agar para “petarung politik” adalah mereka yang  super-kualifai yakni pertarungan antara kandidat dari kategori terbaik  dari yang terbaik (“the best of the best”). 
 Bukan hanya di sisi hukum para kandidat   berhak karena telah mengikuti prosedural dan memenuhi persyaratan, akan  tetapi yang lebih penting adalah karena mereka merupakan  hasil proses  seleksi (memilah dan memilih) dari berbagai bakal calon yang terbaik  diantara sesamanya (“primus inter-pares”).  Partai boleh mengabaikan kandidat potensial yang tidak terfasilitasi  karena berbagai persyaratan dan kepentingan internal partai yang mungkin  tidak mampu dipenuhi oleh kandidat potensial. Namun mereka bisa muncul  menjadi calon independen-non partai. Calon independen dapat  meraih simpati dari kalangan pemilih non partisan yang cukup signifikan  termasuk dari golongan putih (Golput). Mereka dapat dari  kalangan antipati partai karena kecewa dengan kepengurusan yang ada dan  sebagai akibat karena program partai yang sloganis-bombatis di  saat Pemilu tetapi tidak terealisasikan. Belum lagi pola-pola sikap dan  prilaku kader partai yang duduk di lembaga legislatif yang mungkin  tidak sejalan dengan keinginan massa pemilih.
 Adalah  sangat disayangi jika ada kecurangan dan upaya-upaya untuk berbuat  dengan segala cara meskipun melanggar koridor hukum dan ethika  berpolitik yang sehat hanya sekedar untuk menang. Padahal bagi kandidat yang menang, sesungguhnya  secara politik populis telah mendapatkan kedekatan hati dengan rakyat  yang mungkin telah terbangun cukup lama. Kandidat yang kalah harus  berani menempatkan dirinya sebagai figur lapis dua dan phenomena  kekalahan adalah tidak lebih dari ”kemenangan yang tertunda” dari hasil  yang telah ditetapkan oleh pemilih yang sesungguhhnya telah mereka  tempatkan sebagai “political customers” tadi. 
 Namun  adakalanya cara-cara non-elegen dan ”kampungan” diterapkan oleh  kandidat yang sesungguhnya berpotensi untuk kalah, dan berpeluang kecil  untuk mengalahkan lawan politiknya. Kita sangat familiar dengan jargon  politik ”black campaigns” yang sesungguhnya  bersifat antagonistik dan justru bisa meningkatkan rating popularitas orang yang diblack-campaingkan. Cara kotor ini menjadi stigma atau noda dalam proses politik yang demokratis.  Secara  teoritis kampanye negatif hanya menghasilkan reaksi positif bagi orang  yang dikampanye-negatifkan karena secara otomatis ”si objek”  memperoleh nilai tambah dalam kampanye tak langsung (”indirect campaign”) atas dirinya. ,Mereka dapat dikategorikan sebagai  orang yang dianiaya dan teraniaya. Teori “look glass-self”  yang berarti ”saya adalah apa yang orang lain lihat/pikirkan” terwujud  di sini. Mereka yang mengkampanyekan negatif terhadap lawan politiknya  dalam teori ini sesungguhhnya telah mengkampanyekan sifat negatif atas  dirinya sendiri di hadapan publik atau justru lebih banyak menceritakan  sisi buruk dirinya sendiri dibandingkan lawannya. Permasalahannya,  banyak kampanye negatif hanya muncul dalam bentuk informasi tampa  mengetahui sumber pengirimnya, namun arahnya jelas ditujukan untuk  mengecilkan seseorang agar orang lain yang didukungnya menjadi besar,  kuat dan menang. Perlu dipahami bahwa sangat kecil kemenangan dicapai  melaui cara-cara seperti ini.
 Politik lokal Bermulti-dimensi 
 Memang  secara politik praktis, Pilkada Propinsi Kepulauan Riau termasuk Batam  dilaksanakan di tingkat lokal, tetapi mengingat ”sifat lokalitas Kepri  dan Batam yang sudah ”go international”, maka aroma dan dinamika politik provinsial dan lokal juga akan berimplikasi pada efek global. Jadi  Pilkada di Kepri dan Batam jangan dianggap enteng hanya sebagai suatu  proses politik reguler dan rutin karena ia akan berdampak pada ekonomi  kosmopolitan yang telah dikembangkan. Secara geo-politik perlu disadari  bahwa kamajuan ekonomi lokal di Kota Batam  saat ini sudah mengalami internasionalisasi ke tataran pasar global.  Adalah  wajar apabila Pemerintah Singapura dan Kerajaan Negeri Johor-Malaysia  bahkan dunia politik internasional juga mengamati phenomena politik dan  proses pemantangan pesta demokrasi di Indonesia ini khususnya yang  terjadi di wilayah perbatasan negara mereka.
 Jadi  bahwa Pilkada bukan hanya suatu proses politik sesaat dan setempat.  Dalam dimensi waktu dan tempat jawabannya adalah ”ya/benar” bahwa  Pilkada insya Allah sukses dilaksanakan di Propinsi Kepulauan  Riau/Kabupaten/Kota di wilayahnya, dan sukses dilaksanakan tepat waktu.  Namun dari sisi efek pada tataran ekonomi yang lebih luas dan politik  yang mendalam masih perlu dipertanyakan. Sukses Pilkada bukan sekedar  mampu melaksanakan berbagai tahapan sesuai dengan proses dan prosedural  sebagaimana yang dipersyaratkan tetapi mampu menghasilkan pemimpin yang  dapat mengisi makna dan maksud kenapa Pilkada dengan dana milyaran  rupiah itu dibutuhkan. 
Dalam perspektif politik moderen, adalah hal yang wajar dan normal jika memasukkan proses Pilkada pada analisis ”costs and benefits”  yang menjadi konsep kunci untuk menemukan model yang sehat dan akurat  serta bermanfaat dalam menentukan satu pilihan dari berbagai alternatif  yang dianggap terbaik. Dalam kaitan ini, perlu dicermati sekali lagi  bahwa  Pilkada bukan semata-mata peristiwa politik, tetapi sudah masuk ke dimensi ekonomi dan dimensi-dimensi lainnya.Konsekwensi logis dari institusionalisasi Pilkada ke dalam transaksi ekonomi, maka yang diperlukan adalah adanya penerapan prinsip-prinsip political management model yang moderen, terbuka, akuntabel, termasuk didalamnya adanya ”marketing strategy” yang efektif dan lagi efisien. Hanya dengan cara inilah, pemborosan di tingkat kelembagaan (KPUD/Desk Pilkada) dapat ditekan dan pemubaziran dana oleh kandidat dapat diantisipasi. Perlu ditekankan bahwa Pilkada adalah hanya sebuah sarana dan wacana untuk mencapai tujuan, dan bukan tujuan itu sendiri. Kenapa kita harus habis-habisan, sampai kita harus kehabisan kehal-hal yang tidak habis-habisnya? Semoga.''(*)



0 komentar:
Posting Komentar