Kamis, 05 Juli 2012

DEMOKRASI DAN OLIGARKI

Semenjak Aristoteles (384-322 SM) membahas demokrasi (pemerintahan oleh orang banyak) dan oligarki (pemerintahan oleh segelintir orang), beragam kajian telah dilakukan tentang bagaimana demokrasi kerap dibajak oleh oligarki.
Orang awam di negara mana pun dan di bawah sistem pemerintahan negara apa pun (kapitalis, komunis, sosialis, Buddhis, Islamis, Kristenis, bahkan Ateis) paham bahwa di balik ungkapan ”kerakyatan”, ”persaudaraan umat”, ”populisme”, dan entah sebutan ”demokrasi” apalagi, penyelenggara pemerintahan negara pada akhirnya ditentukan segelintir orang. Bisa gelintir tokoh, bisa marga, bisa suku, bisa kedaerahan, bisa keagamaan.
Melalui buku Oligarchy (Cambridge University Press, 2011), Jeffrey Winters, guru besar ekonomi-politik Northwestern University, Chicago, menelusuri perdebatan abadi antara ”demokrasi” dan ”oligarki” secara runtut dan sistematis. Ia melintas teori-teori tentang ”kerakyatan” lawan ”elitisme” yang dikembangkan sejak Roberto Michels menggagas ”hukum besi oligarki” (1940-an) ataupun C Wright Mills tentang ”elite penguasa” tahun 1950-an.
Winters membagi oligarki ke dalam berbagai jenis atau ”rumpun”: oligarki militer (warring oligarchies), oligarki pemerintahan (ruling oligarchies), oligarki kesultanan (sultanic oligarchies), dan oligarki sipil (civil oligarchies). Masing-masing jenis oligarki mempertahankan keunggulan materi: tanah, uang, bangunan, atau aset-aset properti.
Oligarki militer (di beberapa negara Afrika) mengutamakan penggunaan kekuatan fisik/paksa, oligarki pemerintahan (mafia di Italia) lebih mengandalkan jaringan sosial dan institusi negara. Oligarki kesultanan menggabungkan kekuatan paksa dan kekuatan ekonomi untuk mengendalikan oligarki-oligarki lain di bawahnya agar tunduk pada oligarki utama (pemerintahan Ferdinand Marcos di Filipina dan Soeharto di Indonesia). Oligarki sipil berkembang di negara-negara maju (AS, Singapura) di mana kekuatan keuangan dan kepemilikan aset jadi andalan untuk menguasai perangkat hukum untuk menjaga keabsahan hak miliknya.
Dalam menelaah ketimpangan kaya miskin di seluruh dunia, Winters mengajukan gagasan perbedaan antara hak milik properti dan klaim atas properti. Karena jumlah dan jenis properti (tanah, bangunan, aset) selalu lebih kecil dari jumlah penduduk maka di mana-mana muncul apa yang disebutnya ”industri pertahanan pendapatan”.
Industri ini terdiri atas lembaga yang bertugas di lobi hukum maupun secara politis melindungi properti milik oligarki sipil. Industri ini berupa konsultan hukum, konsultan manajemen, akuntan, pengacara, otoritas sipil penegak hukum, badan legislasi, bahkan anggota partai politik di pemerintah dan parlemen.
Di AS dan Singapura, oligarki sipil telah sedemikian kuatnya sehingga mereka menguasai perangkat-perangkat hukum negara untuk mempertahankan kekayaan oligarki keuangan dan perbankan. Kasus dana talangan Pemerintah AS menyelamatkan perusahaan dan bank-bank investasi pascakrisis 2007-2008 membuktikan bahwa hukum yang berlaku telah menjaga kepentingan 10 bank terbesar dari gugatan hukum. Tak satu pun pemimpin perusahaan per- bankan keuangan di AS itu tersentuh gugatan hukum karena ketentuan hukum tentang itu ”belum jelas”. Oligarki perbankan telah membuat dirinya ”terlalu besar untuk gagal”, too big to fail. Tepatnya terlalu menguasai hukum sehingga kebal hukum.
Demokrasi kriminal
Winters mengamati bahwa di negara-negara demokrasi Asia Tenggara seperti Indonesia dan Filipina, oligarki kesultanan berubah menjadi ”demokrasi kriminal”. Oligarki keuangan dan properti di kedua negara itu telah menguasai industri pertahanan pendapatan yang dikendalikannya untuk menghindari pajak atau melindungi diri dari gugatan pencemaran lingkungan. Kasus seperti ”pembelian” oleh sekelompok oligarki keuangan terhadap sejumlah legislator DPR mengenai arah dan isi rancangan undang-undang tentang perpajakan dan tenaga kerja tahun 2008.
Mungkin jasa terbesar Jeffrey Winters ialah dalam mengungkap betapa luas dan besarnya jaringan peran berbagai profesi yang terlibat dalam industri pertahanan pendapatan ini. Ahli hukum, pengacara, mafia pajak, mafia lingkungan, makelar kasus, konsultan manajemen, akuntan, aparat negara, lembaga-lembaga hukum semuanya bertugas bukan untuk menegakkan hukum. Mereka malah membengkokkan hukum agar berpihak dan melindungi kepentingan oligarki keuangan dan properti itu.
Kalau demokrasi Indonesia hendak diselamatkan dari nasib buram itu, generasi muda Indonesia, terutama generasi muda ahli hukum, konsultan manajemen, akuntan, aparat hukum, anggota partai politik di dalam dan di luar perwakian rakyat harus berani keluar dari lingkaran setan ”demokrasi telah dibajak oligarki”. Langkah itu harus segera dimulai.
Juwono Sudarsono, Guru Besar UI; Mantan Menteri Pertahanan, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Negara Lingkungan Hidup.''(*)

0 komentar:

Posting Komentar