Minggu, 03 Juni 2012

Kehadiran Lembaga Survei Ekonomi dan Politik

Dan sejak Pemilu 1999, gaya berpolitik para individu dan partai politik (parpol) sudah seperti di Amerika Serikat atau negara barat lainnya. Ibarat ‘barang’ atau ‘produk’, parpol membutuhkan survei lapangan untuk mengetahui apakah sudah dikenal masyarakat atau belum.
Bagi ‘produk-produk lama’ seperti PPP, Partai Golkar atau PDI Perjuangan, persoalannya bukan sudah dikenal, melainkan seberapa populer di mata masyarakat pemilih. Bisa saja sebuah parpol populer, tetapi tidak dipilih karena berbagai pertimbangan.


Sebagai contoh hasil survei Indo Barometer menyebutkan 40% responden tahu PPP adalah partai Islam, tetapi ketika ditanya apakah mereka akan memilih partai itu, ternyata angkanya kurang dari 5% responden memilih PPP.
Membaca hasil survei itu, elit atau pendukung PPP tidak usah ‘kebakaran jenggot’, tapi perlu bercermin diri apakah partai sudah menjalankan fungsi dan perannya secara baik kepada konstituen.
Dalam setahun terakhir ini tidak sedikit survei politik dilakukan lembaga-lembaga baik yang berbasis di universitas ataupun yang sudah dikenal masyarakat seperti Lembaga Survey Indonesia (LSI), Lingkaran Survey Indonesia (LSI) dan Indo Barometer.
Menariknya, ketiga lembaga ini dulu berasal dari satu institusi yang sama di bawah Denny JA, yaitu Lembaga Survey Indonesia. Dalam perjalanannya, Syaiful Mujani mengundurkan diri dari LSI dan membentuk LSI baru dengan nama yang sama yaitu Lembaga Survey Indonesia, sedangkan Denny JA dan M. Qodari tetap di LSI dengan nama baru Lingkaran Survey Indonesia, baru kemudian Qodari pecah kongsi dengan Denny J.A dan kemudian membentuk Indo Barometer, Kemudian muncul (ISPP) Institute Survei Perilaku Politik'' (LI) Latin Institute dan (IPI) Indeks Politica Indonesia' dimana LI & IPI berpusat dikota makassar.
Belakangan muncul pula lembaga-lembaga survei baru baik yang dikelola pemain-pemain lama maupun baru, termasuk yang dikelola Mallarangeng bersaudara.
Jika kita membaca hasil survei terhadap parpol yang secara berkala dilakukan LSI (dua LSI) atau lembaga survei lainnya, hasilnya dapat saja berubah dari waktu ke waktu.
Ada beberapa penyebab perubahan urutan partai pilihan rakyat, antara lain, pertama, popularitas partai itu dalam kurun waktu tertentu naik atau turun sejalan dengan geliat di dalam partai dan aktivitasnya; kedua, metodologi yang digunakan mungkin berbeda; ketiga, iklan menggebu yang dibuat partai itu; keempat, akibat survei pesanan.
Hasil survei sebenarnya baik bagi partai itu untuk mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Tapi ada juga yang dibuat atas dasar pesanan. Survei politik atas dasar pesanan tidak selamanya buruk.
Ada yang dibuat untuk kepentingan internal partai dan tidak untuk dipublikasikan, tapi bila memang dipesan agar partainya menduduki ranking tiga besar atau bahkan nomor 1, barulah ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan besar dari para pembacanya.
Sah-saja bila lembaga survei bergerak sekaligus konsultan politik partai, kandidat Presiden atau berbagai kandidat dalam Pilkada. Di AS pun sejak 1970-an konsultan politik yang sekaligus melakukan survei tumbuh bak jamur di musim hujan, yang berdampak negatif bagi fungsi mesin partai karena digantikan para konsultan politik profesional.
Persoalannya apakah mereka melakukannya sesuai kaidah akademik, ataukah untuk mengelabui masyarakat. Jika dilakukan sesuai kaidah akademik, tentunya ada marjin kesalahan yang biasanya dicantumkan, misalnya plus minus 1% sampai persentase tertentu.
Antara 2007-2008, posisi parpol memang ada yang tetap namun ada yang berubah-ubah. Seorang pakar survei politik mengatakan kepada penulis, secara konvensional, memang urutan 1, 2 dan 3 dapat berubah, tapi sulit rasanya terjadi perubahan drastis dari nomor 1 menjadi nomor 3 atau 4, atau sebaliknya dari yang tadinya nomor 3 atau 4 melambung tinggi menjadi nomor 1.
Pandangan pakar survei ini dapat saja benar, tapi tak selamanya benar. Bukan mustahil sebuah parpol melambung tinggi dari nomor urut 3 ke nomor 1. Iklan politik dapat menjadi penyumbang utama mengapa popularitas meningkat tajam. Posisi di pemerintahan dapat menyebabkan partai itu dapat mendaku keberhasilan pemerintah adalah hasil kerja keras partai itu.
Namun yang kita sayangkan apabila popularitas partai-nya pemerintah disebabkan iklan yang menggunakan dana publik. Tengok misalnya iklan kantor Menko Kesra soal PNPM Mandiri atau kantor Menteri Kehutanan mengenai menanam 10 juta pohon.
Kita bertanya, apakah itu iklan layanan masyarakat dan/atau penyebaran informasi, ataukah itu iklan politik yang didanai anggaran APBN. Anehnya, baik Bawaslu atau ICW kurang bersuara mengenai hal itu.
Lalu, apakah hasil survei dapat memengaruhi pilihan masyarakat pada pemilu? Jawabnya bisa ya, bisa tidak. Tapi, meski iklan politik menggambarkan sebuah parpol atau aktor politik ‘tak seindah warna aslinya’, bukan mustahil dapat memengaruhi pilihan orang pada Pemilu 2009.
Jika setiap hari dicecoki iklan politik secara menggebu dalam kurun waktu lama, dan orang itu belum memiliki pilihan pasti, bukan mustahil akan terpengaruh. Suatu yang salah, jika terus menerus dianggap benar, akan menjadi kebenaran itu sendiri.'' BY SUWADI IDRIS AMIR.''

0 komentar:

Posting Komentar