Ini Kritik Prof Qasim Mathar soal SYL dan Pemberontak
Minggu, 10 Juni 2012 13:51 WITA
MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM
-- Guru Besar Sejarah dan Pemikiran Islam UIN Alauddin Makassar, Prof
Dr Qasim Mathar mengirim rilis tertulis kepada Tribun, Minggu
(10/6/2012) menanggapi pernyataan Ketua PD XIX FKPPI Sulsel Syahrul
Yasin Limpo, soal perlawanan kepada "pemberontak".
Berikut ini penjelasan sekaligus kritik sang professor:
"... Kalaupun ada bupati berkecenderungan kepada salah seorang calon, hendaknya kecenderungan itu diwujudkan dalam sikap yang sesuai dengan posisinya sebagai kepala daerah yang memimpin rakyatnya yang bercorak ragam aspirasi politiknya.
Bukan saja saya, tetapi tidak kurang dari seorang pengurus cabang FKPPI dari daerah bingung dengan ucapan SYL yang melarang FKPPI berpolitik praktis, tapi ada selendang bertuliskan "Don't Stop Komandan" yang dibagikan.
"Kenapa harus pakai begini (selendang), FKPPI kan bukan organisasi politik tapi ormas", kata pengurus itu kepada temannya. Memang tidak mudah "taro ada, taro gau" (ucapan sesuai dengan perbuatan).
Tidak sedikit pemimpin yang hanya "taro ada tettaro gau" (ucapan berlawanan dengan perbuatan).
Saya percaya, tentara adalah tentara rakyat. Sejarah nasional kita membuktikan bahwa hanya tentara yang netral yang disukai rakyat dan bersama dengan mereka, tentara menyusuri dinamika kehidupan nasional kita.
Karena itu, saya juga memohon Tim "Semangat Baru" IA (Ilham-Aziz) mau menahan diri, sekalipun SYL dalam pidatonya berkata: "Di sini ada kalian, makanya Semangat harus dilawan....".
Kalau para kandidat itu tidak menahan diri masing-masing, maka subhanallah wa astagfirullah! Kalau sudah begitu, niscaya pilkada Sulsel kelak akan sarat dengan kampanye buruk (black campaign).
Dan, selanjutnya konflik horizontal warga/rakyat tidak akan bisa dihindari.
Nauzu biLlahi min zalik (kita berlindung kepada Allah dari kemungkinan buruk itu)! Nanti kita lihat, siapa yang berontak ketika pemenang pilkada Sulsel dinyatakan sah secara hukum? Semoga yang kalah secara sah saat itu, tidak menjadi pemberontak! (Qasim Mathar)
Sent from BlackBerry® on 3
Berikut ini penjelasan sekaligus kritik sang professor:
"... Kalaupun ada bupati berkecenderungan kepada salah seorang calon, hendaknya kecenderungan itu diwujudkan dalam sikap yang sesuai dengan posisinya sebagai kepala daerah yang memimpin rakyatnya yang bercorak ragam aspirasi politiknya.
Bukan saja saya, tetapi tidak kurang dari seorang pengurus cabang FKPPI dari daerah bingung dengan ucapan SYL yang melarang FKPPI berpolitik praktis, tapi ada selendang bertuliskan "Don't Stop Komandan" yang dibagikan.
"Kenapa harus pakai begini (selendang), FKPPI kan bukan organisasi politik tapi ormas", kata pengurus itu kepada temannya. Memang tidak mudah "taro ada, taro gau" (ucapan sesuai dengan perbuatan).
Tidak sedikit pemimpin yang hanya "taro ada tettaro gau" (ucapan berlawanan dengan perbuatan).
Saya percaya, tentara adalah tentara rakyat. Sejarah nasional kita membuktikan bahwa hanya tentara yang netral yang disukai rakyat dan bersama dengan mereka, tentara menyusuri dinamika kehidupan nasional kita.
Karena itu, saya juga memohon Tim "Semangat Baru" IA (Ilham-Aziz) mau menahan diri, sekalipun SYL dalam pidatonya berkata: "Di sini ada kalian, makanya Semangat harus dilawan....".
Kalau para kandidat itu tidak menahan diri masing-masing, maka subhanallah wa astagfirullah! Kalau sudah begitu, niscaya pilkada Sulsel kelak akan sarat dengan kampanye buruk (black campaign).
Dan, selanjutnya konflik horizontal warga/rakyat tidak akan bisa dihindari.
Nauzu biLlahi min zalik (kita berlindung kepada Allah dari kemungkinan buruk itu)! Nanti kita lihat, siapa yang berontak ketika pemenang pilkada Sulsel dinyatakan sah secara hukum? Semoga yang kalah secara sah saat itu, tidak menjadi pemberontak! (Qasim Mathar)
Sent from BlackBerry® on 3
Penulis : thamzil
Editor : taufik
Akademisi: Kahar Bukan Pemberontak
Sabtu, 9 Juni 2012 22:33 WITA
MAKASSAR,TRIBUN-TIMUR.COM--Apapun
interpretasinya, kata Pemberontak ternyata menjadi kata sensitif di
kalangan masyarakat Sulsel di era kekinian. Hal yang tidak bisa di
pungkiri Sulsel pernah diwarnai aksi pemberontakan yang dialamatkan
kepada ketua Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kahar Muzakkar
tahun 1950an.
Buktinya, pasca bakal calon gubernur incumbent Sulsel Syahrul Yasin Limpo menggaungkan ajakan melawan pemberontak, timbul reaksi kecaman dari berbagai kalangan, baik tentunya dari kalangan keluarga Kahar, simpatisan Kahar, pejuang Kahar, aktivis mahasiswa, ormas, wija to Luwu, akademisi dan sebagainya.
Ajakan Syahrul yang Syahrul ketua pengurus daerah (PD) Forum Komunikasi Keluarga Putra Putri Purnawirawan ABRI (FKPPI) Sulsel ini saat membuka rapat pimpinan daerah (rapimda) FKPPI XIX di baruga Sangiaseri, rumah jabatan gubernur, Jl Sungai Tangka, Makassar, kemarin.
Munculnya kecaman bukan tidak mungkin lantaran kuatnya kepercayaan mayoritas masyarakat Sulsel bahwa sosok Kahar bukanlah pemberontak.
Alasan itu dibenarkan dosen Sejarah Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar Dr Latif. Bagaimana dosen sejarah senior Unhas ini, berikut paparannya kepada Tribun Timur, Makassar, Sabtu (9/6)
Kahar Muzakkar bukanlah pemberontak, Kahar Muzakkar tidak pernah punya keinginan keluar dari Indonesia, makanya semua gerakannya disebut negara islam Indonesia ada kata Indonesianya.
Kahar tetap setia kepada Indonesia dan sila pancasila karena ia memperjuangkan islam. Makanya kemudian melalui wadah DI/TII semua menggunakan kata Indonesia, itulah cara Kahar memperjuangkan gagasannya dan itu mendapat simpati rakyat Sulsel, Sulbar, dan Sulawesi Tenggara.
Itu tadi, Kahar tidak pernah mau keluar dari Indonesia. Dulu dibentuk tentara teritorium tujuh, panglimanya adalah Alex Kawilarang, Panglima Kawilarang ini kemudian tidak disetujui masyarakat Sulsel. Rakyat Sulsel terus melakukan penolakan terhadap Alex yang juga orang Manado itu.
Karena orang Sulsel tidak setuju Kawilarang selaku panglima, maka kemudian Kawilarang meminta Kahar datang ke Sulsel membujuk mereka. Kahar dipercayakan Kawilarang karena Kahar lah selaku militer senior di Bugi-Makassar saat itu. Kahar Muzakkar lah neneknya militer di Sulsel. Andi Sose, Andi Selle dan sebagainya adalah didikan Kahar di era militer kesatuan (sebelum DI/TII dibentuk)
Kahar diminta mengarahkan rakyat Sulsel agar patuh panglima Kawilarang. Kahar saat itu diberi pangkat Letnan Kolonel. Ketika Kahar datang ke Sulsel menemui hampir semua pimpinan pejuang di Sulsel, Kahar menerima aspirasi rakyat Sulsel agar diberi posisi di dunia kemiliteran di samping itu ada juga ada yang mau jadi pengusaha,
Akan tetapi aspirai masyarakat Sulsel yang dijinjing Kahar tersebut ditolak Kawilarang saat menghadap. Kawilarang tidak mau menerima kemauan orang Sulsel. Kahar selaku perwakilan Sulsel saat itu berjuang meminta kapada Kawilarang agar menerima keinginan se kampungnya itu, tapi lagi-lagi ditolak Kawilarang.
Lantaran Kawilarang ngotot menolak aspirasi masyarakat Sulsel, maka kemudian Kahar meninggalkan Kawilarang, Kahar memilih pulang kampung halamannya bersama rakyat Sulsel, Kahar masuk hutan untuk memperjuangkan rakyat Sulsel.
Kahar memimpin langsung pejuang di hutan dengan membentuk kesatuan militer belum DI/TII. Saat Kahar membentuk kesatuan militer, masyarakat Sulsel ramai-ramai bergabung seperti Andi Sose (pemilik Universitas 45 Makassar) Andi Selle, Makatang Dg Sibali dan masih banyak lagi.
Tetapi pada tahun 1952 sejumlah anggota basis Kahar seperti Andi Sose, Dg Makatan dan sebagainya berminat masuk TNI, nah dari situ Kahar menerima kemauan rekannya.
Kemudian Kahar mengubah formasi kesatuan militernya. Intinya tahun 1952, lapis pertama pertahanan Kahar banyak yang masuk TNI, jadi Kahar merubah kesatuan militernya menjadi Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Terbentuknya formasi perjuangan baru Kahar bernama DI/TII ini semakin banyak yang bergabung, banyak ulama yang bergabung, banyak tokoh agama yang bergabung, tiga provinsi justru ikut bergabung di sini.
Hal yang perlu digaris bawahi waktu Kahar membentuk DI/TII, tidak ada fakta bahwa Kahar mendiskreditkan agama lain, justru, hadirnya DI/TII ini juga melindungi agama non islam bahkan mereka banyak yang bergabung baik dari Sulsel sendiri bahkan dari luar negeri, fakta ditemukan banyak akademisi, dosen dari sejumlah negara Eropa, ada dari Jerman yang jadi tenaga pengajar pejuang Kahar di perguruan tinggi yang didirikan Kahar di hutan.
Saya mau katakan, ideologi Kahar itu adalah bagian dari pancasila, jelas kalau ideologi islam bagian dari pancasila.
Jadi kalau ada sebutan pemberontak, itu bukan jamannya, situasi sekarang berbeda. Kalau kemudian Aziz dikaitkan dengan karakter bapaknya maka itu tidak relevan.
Aziz memang anak biologis Kahar namun belum tentu Aziz adalah anak ideologis Kahar. Untuk mengukur idelogi Aziz kita lihat latar belakang organisasinya, Aziz kan kader HMI.
Demikian pak Syahrul sebagai anak Yasin Limpo, tentu tidak bisa seperti bapaknya di jaman dulu.
Buktinya, pasca bakal calon gubernur incumbent Sulsel Syahrul Yasin Limpo menggaungkan ajakan melawan pemberontak, timbul reaksi kecaman dari berbagai kalangan, baik tentunya dari kalangan keluarga Kahar, simpatisan Kahar, pejuang Kahar, aktivis mahasiswa, ormas, wija to Luwu, akademisi dan sebagainya.
Ajakan Syahrul yang Syahrul ketua pengurus daerah (PD) Forum Komunikasi Keluarga Putra Putri Purnawirawan ABRI (FKPPI) Sulsel ini saat membuka rapat pimpinan daerah (rapimda) FKPPI XIX di baruga Sangiaseri, rumah jabatan gubernur, Jl Sungai Tangka, Makassar, kemarin.
Munculnya kecaman bukan tidak mungkin lantaran kuatnya kepercayaan mayoritas masyarakat Sulsel bahwa sosok Kahar bukanlah pemberontak.
Alasan itu dibenarkan dosen Sejarah Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar Dr Latif. Bagaimana dosen sejarah senior Unhas ini, berikut paparannya kepada Tribun Timur, Makassar, Sabtu (9/6)
Kahar Muzakkar bukanlah pemberontak, Kahar Muzakkar tidak pernah punya keinginan keluar dari Indonesia, makanya semua gerakannya disebut negara islam Indonesia ada kata Indonesianya.
Kahar tetap setia kepada Indonesia dan sila pancasila karena ia memperjuangkan islam. Makanya kemudian melalui wadah DI/TII semua menggunakan kata Indonesia, itulah cara Kahar memperjuangkan gagasannya dan itu mendapat simpati rakyat Sulsel, Sulbar, dan Sulawesi Tenggara.
Itu tadi, Kahar tidak pernah mau keluar dari Indonesia. Dulu dibentuk tentara teritorium tujuh, panglimanya adalah Alex Kawilarang, Panglima Kawilarang ini kemudian tidak disetujui masyarakat Sulsel. Rakyat Sulsel terus melakukan penolakan terhadap Alex yang juga orang Manado itu.
Karena orang Sulsel tidak setuju Kawilarang selaku panglima, maka kemudian Kawilarang meminta Kahar datang ke Sulsel membujuk mereka. Kahar dipercayakan Kawilarang karena Kahar lah selaku militer senior di Bugi-Makassar saat itu. Kahar Muzakkar lah neneknya militer di Sulsel. Andi Sose, Andi Selle dan sebagainya adalah didikan Kahar di era militer kesatuan (sebelum DI/TII dibentuk)
Kahar diminta mengarahkan rakyat Sulsel agar patuh panglima Kawilarang. Kahar saat itu diberi pangkat Letnan Kolonel. Ketika Kahar datang ke Sulsel menemui hampir semua pimpinan pejuang di Sulsel, Kahar menerima aspirasi rakyat Sulsel agar diberi posisi di dunia kemiliteran di samping itu ada juga ada yang mau jadi pengusaha,
Akan tetapi aspirai masyarakat Sulsel yang dijinjing Kahar tersebut ditolak Kawilarang saat menghadap. Kawilarang tidak mau menerima kemauan orang Sulsel. Kahar selaku perwakilan Sulsel saat itu berjuang meminta kapada Kawilarang agar menerima keinginan se kampungnya itu, tapi lagi-lagi ditolak Kawilarang.
Lantaran Kawilarang ngotot menolak aspirasi masyarakat Sulsel, maka kemudian Kahar meninggalkan Kawilarang, Kahar memilih pulang kampung halamannya bersama rakyat Sulsel, Kahar masuk hutan untuk memperjuangkan rakyat Sulsel.
Kahar memimpin langsung pejuang di hutan dengan membentuk kesatuan militer belum DI/TII. Saat Kahar membentuk kesatuan militer, masyarakat Sulsel ramai-ramai bergabung seperti Andi Sose (pemilik Universitas 45 Makassar) Andi Selle, Makatang Dg Sibali dan masih banyak lagi.
Tetapi pada tahun 1952 sejumlah anggota basis Kahar seperti Andi Sose, Dg Makatan dan sebagainya berminat masuk TNI, nah dari situ Kahar menerima kemauan rekannya.
Kemudian Kahar mengubah formasi kesatuan militernya. Intinya tahun 1952, lapis pertama pertahanan Kahar banyak yang masuk TNI, jadi Kahar merubah kesatuan militernya menjadi Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Terbentuknya formasi perjuangan baru Kahar bernama DI/TII ini semakin banyak yang bergabung, banyak ulama yang bergabung, banyak tokoh agama yang bergabung, tiga provinsi justru ikut bergabung di sini.
Hal yang perlu digaris bawahi waktu Kahar membentuk DI/TII, tidak ada fakta bahwa Kahar mendiskreditkan agama lain, justru, hadirnya DI/TII ini juga melindungi agama non islam bahkan mereka banyak yang bergabung baik dari Sulsel sendiri bahkan dari luar negeri, fakta ditemukan banyak akademisi, dosen dari sejumlah negara Eropa, ada dari Jerman yang jadi tenaga pengajar pejuang Kahar di perguruan tinggi yang didirikan Kahar di hutan.
Saya mau katakan, ideologi Kahar itu adalah bagian dari pancasila, jelas kalau ideologi islam bagian dari pancasila.
Jadi kalau ada sebutan pemberontak, itu bukan jamannya, situasi sekarang berbeda. Kalau kemudian Aziz dikaitkan dengan karakter bapaknya maka itu tidak relevan.
Aziz memang anak biologis Kahar namun belum tentu Aziz adalah anak ideologis Kahar. Untuk mengukur idelogi Aziz kita lihat latar belakang organisasinya, Aziz kan kader HMI.
Demikian pak Syahrul sebagai anak Yasin Limpo, tentu tidak bisa seperti bapaknya di jaman dulu.
Penulis : ilham
Editor : imam
Selle: Ayo, Dukung Ajakan Syahrul Lawan Pemberontak
Selle: Ayo, Dukung Ajakan Syahrul Lawan Pemberontak
Sabtu, 9 Juni 2012 20:19 WITA
MAKASSAR,
TRIBUN-TIMUR.COM--Juru bicara (jubir) paket calon Gubernur dan Wakil
Gubernur Sulsel, Ilham Arief Sirajuddin-Abdul Aziz Kahar Muzakkar (IA),
Selle KS Dalle, merespon positif ajakan calon Gubernur (incumbent)
Sulsel, Syahrul Yasin Limpo (SYL), untuk melawan "Pemberontak".
Perkataan Syahrul yang juga Ketua Pengurus Daerah (PD) Forum Komunikasi Putra-putri Purnawirawan ABRI (FKPPI) Sulsel itu, diungkapkan saat membuka Rapat Pimpinan Daerah (Rapimda) FKPPI XIX di Baruga Sangiaseri, rumah jabatan gubernur, Jl Sungai Tangka, Makassar, kemarin.
Bagaimana respon positif Selle tersebut, berikut ulasannya kepada Tribun Timur, Makassar, Sabtu (9/6/12).
Terkait dengan idiom lawan pemberontak yang dilontarkan SYL dalam forum FKPPI saya kira tidak mesti dimaknai secara letter late karena untuk kondisi kekinian Sulsel sudah tidak ada lagi kelompok atau orang perorang yang masuk kategori seperti itu.
Karena sangat kontras dengan yang selama ini beliau selalu promosikan tentang Sulsel sebagai daerah yang sangat kondusif, aman dan nyaman sebagai tujuan wisata dan investasi.
Mengingat selama ini beliau (Syahrul) memang senang sekali memperkenalkan idiom-idiom baru misalnya, "PAKUI", "PAKSAI". Kali ini mungkin beliau hanya mencoba menyebut idiom baru di hadapan putra-putri TNI yakni lawan "Pemberontak" yang merupakan akronim dari "pemakai berat obat-obatan terlarang dan narkotika" karena dampak dan kerugian yang ditimbulkan dari masalah narkoba sangat besar, utamanya moral dan mental generasi muda calon pemimpin masa depan bangsa.
Dan kalau isu ini yang dimaksud tentu kita semua sepakat dengan seruan lawan pemberontak tersebut. Karena masalah narkoba bukan hanya isu nasional tapi juga sudah menjadi komitmen Internasional.
Oleh karena itu, saya jubir IA, Selle KS Dalle mengajak semua pihak untuk menguatkan pernyataan SYL tersebut untuk melawan "'pemberontak" terutama pada jajaran pejabat pemerintahan dan pejabat publik.
Pemerintah dan pejabat publik harus menjadi teladan bagi masyarakat untuk tidak sama sekali terlibat dalam masalah penggunaan obat terlarang dan narkotika atau "pemberontak".
Perkataan Syahrul yang juga Ketua Pengurus Daerah (PD) Forum Komunikasi Putra-putri Purnawirawan ABRI (FKPPI) Sulsel itu, diungkapkan saat membuka Rapat Pimpinan Daerah (Rapimda) FKPPI XIX di Baruga Sangiaseri, rumah jabatan gubernur, Jl Sungai Tangka, Makassar, kemarin.
Bagaimana respon positif Selle tersebut, berikut ulasannya kepada Tribun Timur, Makassar, Sabtu (9/6/12).
Terkait dengan idiom lawan pemberontak yang dilontarkan SYL dalam forum FKPPI saya kira tidak mesti dimaknai secara letter late karena untuk kondisi kekinian Sulsel sudah tidak ada lagi kelompok atau orang perorang yang masuk kategori seperti itu.
Karena sangat kontras dengan yang selama ini beliau selalu promosikan tentang Sulsel sebagai daerah yang sangat kondusif, aman dan nyaman sebagai tujuan wisata dan investasi.
Mengingat selama ini beliau (Syahrul) memang senang sekali memperkenalkan idiom-idiom baru misalnya, "PAKUI", "PAKSAI". Kali ini mungkin beliau hanya mencoba menyebut idiom baru di hadapan putra-putri TNI yakni lawan "Pemberontak" yang merupakan akronim dari "pemakai berat obat-obatan terlarang dan narkotika" karena dampak dan kerugian yang ditimbulkan dari masalah narkoba sangat besar, utamanya moral dan mental generasi muda calon pemimpin masa depan bangsa.
Dan kalau isu ini yang dimaksud tentu kita semua sepakat dengan seruan lawan pemberontak tersebut. Karena masalah narkoba bukan hanya isu nasional tapi juga sudah menjadi komitmen Internasional.
Oleh karena itu, saya jubir IA, Selle KS Dalle mengajak semua pihak untuk menguatkan pernyataan SYL tersebut untuk melawan "'pemberontak" terutama pada jajaran pejabat pemerintahan dan pejabat publik.
Pemerintah dan pejabat publik harus menjadi teladan bagi masyarakat untuk tidak sama sekali terlibat dalam masalah penggunaan obat terlarang dan narkotika atau "pemberontak".
Penulis : ilham
Editor : imam
Posted 22 hours ago by Suwadi Idris Amir
0 komentar:
Posting Komentar