Sulawesi Barat memang masih layak
disebut termuda. Sedang merangkak menuju penataan infrastruktur di
mana-mana. Kesannya pun, hampir semua hal, cukup dipahami sebagai proses
menuju kesempurnaan.
Tapi soal politik, kiranya tak bisa
dipandang apa adanya, datar-datar saja. Jazirah Mandar ini ternyata
cukup dipadati oleh mereka yang telah demikian matang sebagai petarung
di panggung politik. Maka khusus soal politik, Sulbar ini bukanlah
provinsi termuda.
Meski terasa mubazir, pahaman ini sengaja dipancangkan ulang agar memori kolektif kita tidak sekedar mengemas diri dalam pilihan-pilihan kekuatan ataupun pusaran politik.
Meski terasa mubazir, pahaman ini sengaja dipancangkan ulang agar memori kolektif kita tidak sekedar mengemas diri dalam pilihan-pilihan kekuatan ataupun pusaran politik.
Ketika seorang ketua harian di tubuh
partai Golkar memilih mundur, ruang kesadaran kita janganlah terhenti
sampai di situ saja. Apalagi konteks yang diperankan adalah politik.
Sekali lagi ini politik, penuh intrik dan taktik.
Fenomena ini mestinya dihunjamkan dalam
benak lebih dalam bahwa ada ekspektasi besar yang kini sudah sulit
dibendung. Di dalamnya, ada gesekan ‘kepentingan’ antara seorang Anwar
Adnan Saleh cs dengan Suhardi Duka.
Kerasnya gesekan itu tidak juga membuat
kita terkejut begitu rupa. Sebab sudah berulang kali SDK melakukan
‘sinyal konfrontasi’ terhadap atasannya baik sebagai Gubernur maupun
ketua Golkar Sulbar.
Agar konstalasi ini tak sekedar intrik belaka, beberapa catatan penting perlu untuk disimak.
Pertama, proses hengkangnya SDK
dari partai beringin merupakan bagian dari dinamika politik.
Konsistensi seorang SDK sedang dipertaruhkan. Apakah bakal melejit
ataukah justeru sebagai ajal politik baginya. Apalagi jika benar-benar
telah kukuh melenggang menuju partai Demokrat.
Kedua, fakta ini bukanlah
sekedar sikap prematur dalam usaha merebut kekuasaan pasca Anwar Adnan
Saleh. Melainkan sebagai pelajaran politik soal bagaimana seorang
politisi mampu bergerak dalam langgam dan irama yang sama; konsistensi
antara suara dan karya.
Ketiga, konstalasi politik
sejatinya mampu menjadi lompatan positif bagi pembangunan jazirah mandar
ini. Tidak boleh kepentingan segelintir pihak serta merta menindis
kepentingan lebih besar bagi rakyat lebih banyak.
Keempat, dalam politik,
dorongan kepentingan di atas segala-galanya. Artinya, boleh jadi karena
kepentingan, SDK harus mundur. Karena kepentingan pula, (di masa
mendatang), elit politik kita bersua dalam satu senyum menyungging.
Dengan begitu, apapun intrik yang hari
ini terus bergulir, tetap saja kita mendambakan masa depan politik yang
jauh dari tindakan saling menyesali, apalagi saling mengutuk.
0 komentar:
Posting Komentar