Munculnya figur calon perseorangan dalam Pemilukada daerah memberi tantangan serius bagi partai politik untuk selektif mengusung calon.
Tampaknya ini pula pemicu partai politik mengusung tokoh-tokoh populis sebagai kandidat mereka, termasuk mengimpor tokoh dari daerah lain.
Majunya Faisal Basri di Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta dari jalur independen disambut positif sejumlah kalangan. Figur-figur yang ”nonpartisan” dan kritis ternyata menggairahkan para pemilih yang bosan dengan figur dari parpol yang rata-rata ”minus” kepemimpinan, visi, dan integritas.
Di Sulsel pada 2013 akan akan melangsungkan pemilukada di 12 kabupaten/kota dan juga pilgub awal 2013, sebagai sebuah provinsi yang memilki sumber daya kepemimpinan, disebut-sebut mempunyai segudang tokoh yang punya visi dan integritas, harus berani tampil maju walaupun melalui jalur independent, karena hal yang paling penting dalam sebuah demokrasi adalah penyampaian ide dan gagasan kepada masyarakat.
Sikap seperti itu penting agar tercipta kesadaran kepada mereka bahwa jalur independent itu bisa mengurangi biaya kos politik para calon kepala daerah sehingga meminimalisir terjadinya korupsi kepada kepala daerah. Maju lewat jalur independen diharapkan para kandidat tidak terlalu terbebani biaya kos politik yang besar pada saat pilkada karena salah satu penyebab kepala daerah melakukan korupsi adalah akibat terlalu besarnya beban biaya kampanye dan sosialisasi pada saat pilkada. Hampir semua kandidat, kalau tidak bisa dipukul rata bahwa semua, harus berutang atau membangun kerja sama dengan pengusaha yang memang menyediakan bantuan kepada calon kepala daerah. Kehadiran para pengusaha itu tidak dengan tangan kosong. Bisa dipastikan mereka tidak ikhlas membantu pada kandidat. Bantuan mereka harus ditebus dengan proyek di daerah tersebut.
Dominasi ParpolKajian para pakar politik, jalur independent bisa mengurangi 50 persen biaya kos politik dibanding menggunakan jalur partai politik. Sayangnya, jalur independen masih kurang memikat di Sulsel. Ini disebabkan, salah satunya, karena sejak pascareformasi belum satu pun calon kepala daerah yang mampu menumbangkan dominasi partai politik melalui jalur independen. Tapi di daerah lain sudah ada yang berhasil.
Citra buruk DPRD tentu saja mewakili buruknya perilaku politik partai-partai yang berkontestasi dalam pemilu legislatif. Sedemikian buruknya citra itu di mata publik sehingga disimpulkan oleh Yudi Latif bahwa parpol merupakan titik lemah pelembagaan demokrasi Indonesia saat ini (Kompas, 23 Februari 2012).
Peran partai politik yang memberikan kontribusi yang signifikan bagi sistem perpolitikan negeri ini, terutama dalam sistem pembangunan di indonesia. Jika kapasitas dan kinerja partai politik dapat ditingkatkan, maka hal ini akan berpengaruh besar terhadap peningkatan kualitas demokrasi dan kinerja sistem politik. oleh karena itu, peran partai politik perlu ditingkatkan kapasitasnya, kualitas, dan kinerjanya agar dapat mewujudkan aspirasi dan kehendak rakyat dan meningkatkan kualitas demokrasi. Jika berbicara dengan Partai politik tentu tidak terlepas dari parpol yang bisa memberikan kontribusi nyata terhadap kelangsungan pembangunan khususnya di kabupaten. Betapa pentingnnya memetakan kekuatan partai politik untuk dijadikan kendaraan memenangkan suatu pilkada.
Pentingnya memetakan kekuatan partai politik agar seorang kandidat dapat memenangkan pertarungan di pilkada nanti. Kandidat harus mengendarai suatu partai yang disukai masyarakat di daerah tersebut, supaya parpol bukan hanya sebagai jembatan semata agar calon bupati punya kendaraan politik untuk maju, tetapi paling tidak parpol tersebut punya kontribusi dalam memenangkan calon bupati.
Hingga satu dekade reformasi, citra negatif parpol itu tidak kunjung sembuh. Konstitusi memang merancang sistem parlemen, partai politik, dan pemilu yang semakin baik, tetapi kualitas demokrasi tidak semakin baik. Saat musim pilkada parpol besar di daerah melakukan praktik rente dengan ”menjual diri” kepada calon yang mau membayar mahal.
Belajar dari pengalaman itu, pada 2007 seorang calon gubernur dari NTB melakukan uji materi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur persyaratan pencalonan kepala daerah yang hanya lewat parpol. Keputusan MK No 5/PUU-V/2007 yang menggugurkan Pasal 56, 59, dan 60 UU No 32/2004 memuluskan calon independen maju dalam pilkada dengan acuan Pilkada Aceh.
Keputusan MK itu kemudian dilegalisasi ke dalam UU No 12/2008. Akhirnya, calon independen memiliki legalitas dan bisa memenangi beberapa pilkada tingkat II, seperti Batu Bara (Sumatera Utara), Rote Ndao (NTT), Kubu Raya (Kalimantan Barat), Garut (Jawa Barat), dan Sidoarjo (Jawa Timur). Hanya satu yang memenangi pemilihan gubernur, yaitu di Aceh.
Proses penyembuhanJaminan konstitusional tentang hak calon independen dalam pilkada penting dalam demokrasi Indonesia. Meskipun keberhasilan calon independen masih di bawah lima persen, calon independen akan memaksa parpol memperbaiki diri. Paling tidak kini setiap warga yang maju dalam pilkada tidak perlu membayar uang mahar dan membebat diri kepada parpol pengusung. Inilah peluang memutus rantai oligarki dan politik patronase.
Pernyataan bahwa calon independen akhirnya membuka model politik yang bersifat individual juga tidak benar.
Bagaimanapun, proses memajukan diri sebagai calon independen telah mengalami pelembagaan sosial-politik dan memiliki konstruksi sosial. Tanpa proses pelembagaan, tidak ada calon independen yang bisa memenangi pilkada di seluruh Indonesia.
Ia sudah harus menginstitusionalisasi visi dan keterlibatan publik dalam kegiatan politik jauh hari dan memiliki modal cukup ketika momentum pilkada tiba. Ia tak bisa tiba-tiba hadir saat pilkada seperti calon kepala daerah ”bayaran”.
Proses kontestasi ini memiliki legitimasi yang sama sahnya dengan parpol, juga sebagai kompetitor utama atas keberadaan institusi politik yang semakin oligarkis dan mengabdi kepada politik uang.
Ke depan bahkan perlu dipikirkan peluang dari jalur independen untuk maju dalam pemilu legislatif dan juga presiden. Sebagai hak konstitusional sipil, ia tak boleh disekat dalam partai politik yang jauh dari emansipasi, partisipasi, dan demokrasi.
Parpol memang keniscayaan demokrasi yang tak mungkin disirnakan. Namun, calon independen adalah salah satu obat sakit kronis demokrasi saat ini.(*)
Oleh;
Suwadi Idris AmirDirektur Eksekutif (IPI) Indeks Politica Indonesia Dan Korwil Intim (ISPP)
Majunya Faisal Basri di Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta dari jalur independen disambut positif sejumlah kalangan. Figur-figur yang ”nonpartisan” dan kritis ternyata menggairahkan para pemilih yang bosan dengan figur dari parpol yang rata-rata ”minus” kepemimpinan, visi, dan integritas.
Di Sulsel pada 2013 akan akan melangsungkan pemilukada di 12 kabupaten/kota dan juga pilgub awal 2013, sebagai sebuah provinsi yang memilki sumber daya kepemimpinan, disebut-sebut mempunyai segudang tokoh yang punya visi dan integritas, harus berani tampil maju walaupun melalui jalur independent, karena hal yang paling penting dalam sebuah demokrasi adalah penyampaian ide dan gagasan kepada masyarakat.
Sikap seperti itu penting agar tercipta kesadaran kepada mereka bahwa jalur independent itu bisa mengurangi biaya kos politik para calon kepala daerah sehingga meminimalisir terjadinya korupsi kepada kepala daerah. Maju lewat jalur independen diharapkan para kandidat tidak terlalu terbebani biaya kos politik yang besar pada saat pilkada karena salah satu penyebab kepala daerah melakukan korupsi adalah akibat terlalu besarnya beban biaya kampanye dan sosialisasi pada saat pilkada. Hampir semua kandidat, kalau tidak bisa dipukul rata bahwa semua, harus berutang atau membangun kerja sama dengan pengusaha yang memang menyediakan bantuan kepada calon kepala daerah. Kehadiran para pengusaha itu tidak dengan tangan kosong. Bisa dipastikan mereka tidak ikhlas membantu pada kandidat. Bantuan mereka harus ditebus dengan proyek di daerah tersebut.
Dominasi ParpolKajian para pakar politik, jalur independent bisa mengurangi 50 persen biaya kos politik dibanding menggunakan jalur partai politik. Sayangnya, jalur independen masih kurang memikat di Sulsel. Ini disebabkan, salah satunya, karena sejak pascareformasi belum satu pun calon kepala daerah yang mampu menumbangkan dominasi partai politik melalui jalur independen. Tapi di daerah lain sudah ada yang berhasil.
Citra buruk DPRD tentu saja mewakili buruknya perilaku politik partai-partai yang berkontestasi dalam pemilu legislatif. Sedemikian buruknya citra itu di mata publik sehingga disimpulkan oleh Yudi Latif bahwa parpol merupakan titik lemah pelembagaan demokrasi Indonesia saat ini (Kompas, 23 Februari 2012).
Peran partai politik yang memberikan kontribusi yang signifikan bagi sistem perpolitikan negeri ini, terutama dalam sistem pembangunan di indonesia. Jika kapasitas dan kinerja partai politik dapat ditingkatkan, maka hal ini akan berpengaruh besar terhadap peningkatan kualitas demokrasi dan kinerja sistem politik. oleh karena itu, peran partai politik perlu ditingkatkan kapasitasnya, kualitas, dan kinerjanya agar dapat mewujudkan aspirasi dan kehendak rakyat dan meningkatkan kualitas demokrasi. Jika berbicara dengan Partai politik tentu tidak terlepas dari parpol yang bisa memberikan kontribusi nyata terhadap kelangsungan pembangunan khususnya di kabupaten. Betapa pentingnnya memetakan kekuatan partai politik untuk dijadikan kendaraan memenangkan suatu pilkada.
Pentingnya memetakan kekuatan partai politik agar seorang kandidat dapat memenangkan pertarungan di pilkada nanti. Kandidat harus mengendarai suatu partai yang disukai masyarakat di daerah tersebut, supaya parpol bukan hanya sebagai jembatan semata agar calon bupati punya kendaraan politik untuk maju, tetapi paling tidak parpol tersebut punya kontribusi dalam memenangkan calon bupati.
Hingga satu dekade reformasi, citra negatif parpol itu tidak kunjung sembuh. Konstitusi memang merancang sistem parlemen, partai politik, dan pemilu yang semakin baik, tetapi kualitas demokrasi tidak semakin baik. Saat musim pilkada parpol besar di daerah melakukan praktik rente dengan ”menjual diri” kepada calon yang mau membayar mahal.
Belajar dari pengalaman itu, pada 2007 seorang calon gubernur dari NTB melakukan uji materi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur persyaratan pencalonan kepala daerah yang hanya lewat parpol. Keputusan MK No 5/PUU-V/2007 yang menggugurkan Pasal 56, 59, dan 60 UU No 32/2004 memuluskan calon independen maju dalam pilkada dengan acuan Pilkada Aceh.
Keputusan MK itu kemudian dilegalisasi ke dalam UU No 12/2008. Akhirnya, calon independen memiliki legalitas dan bisa memenangi beberapa pilkada tingkat II, seperti Batu Bara (Sumatera Utara), Rote Ndao (NTT), Kubu Raya (Kalimantan Barat), Garut (Jawa Barat), dan Sidoarjo (Jawa Timur). Hanya satu yang memenangi pemilihan gubernur, yaitu di Aceh.
Proses penyembuhanJaminan konstitusional tentang hak calon independen dalam pilkada penting dalam demokrasi Indonesia. Meskipun keberhasilan calon independen masih di bawah lima persen, calon independen akan memaksa parpol memperbaiki diri. Paling tidak kini setiap warga yang maju dalam pilkada tidak perlu membayar uang mahar dan membebat diri kepada parpol pengusung. Inilah peluang memutus rantai oligarki dan politik patronase.
Pernyataan bahwa calon independen akhirnya membuka model politik yang bersifat individual juga tidak benar.
Bagaimanapun, proses memajukan diri sebagai calon independen telah mengalami pelembagaan sosial-politik dan memiliki konstruksi sosial. Tanpa proses pelembagaan, tidak ada calon independen yang bisa memenangi pilkada di seluruh Indonesia.
Ia sudah harus menginstitusionalisasi visi dan keterlibatan publik dalam kegiatan politik jauh hari dan memiliki modal cukup ketika momentum pilkada tiba. Ia tak bisa tiba-tiba hadir saat pilkada seperti calon kepala daerah ”bayaran”.
Proses kontestasi ini memiliki legitimasi yang sama sahnya dengan parpol, juga sebagai kompetitor utama atas keberadaan institusi politik yang semakin oligarkis dan mengabdi kepada politik uang.
Ke depan bahkan perlu dipikirkan peluang dari jalur independen untuk maju dalam pemilu legislatif dan juga presiden. Sebagai hak konstitusional sipil, ia tak boleh disekat dalam partai politik yang jauh dari emansipasi, partisipasi, dan demokrasi.
Parpol memang keniscayaan demokrasi yang tak mungkin disirnakan. Namun, calon independen adalah salah satu obat sakit kronis demokrasi saat ini.(*)
Oleh;
Suwadi Idris AmirDirektur Eksekutif (IPI) Indeks Politica Indonesia Dan Korwil Intim (ISPP)
Editor : Aldy
Sumber : Tribun Timur
0 komentar:
Posting Komentar